Depresi Akut: Polemik Peluang Kerja Generasi Millinial
Oleh: Jufri Hardianto Zulfan, S.H., M.H.,
Direktur Riset Kawah Novelti Indonesia
Keadaan yang hampir selalu menjadi polemik bangsa Indonesia dari tahun-ketahun adalah masalah-masalah tentang kesejahteraan sosial yang berkisar pada pemerataan ekonomi, kesehatan, pendidikan, banyaknya pengangguran hingga menjurus kepada banyaknya jumlah perbuatan kriminimal yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Meningkatnya jumlah krimininalistik di Indonesia dengan berbagai model dan berbagai cara tentu saja menjadi perhatian utama kita terutama untuk pemerintah selaku pengambil kebijakan seharusnya menjadi atensi yang serius untuk secara mendesak harus segera diselesaikan.
Berdasaran data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada 11-07-2022 tentang tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 5, 86 persen dan rata-rata upah buruh sebesar 3, 07 juta rupiah per bulan.
Maka, berdasarkan fakta dari kondisi diatas untuk menjawab pertanyaan seputar apa yang menjadi penyebab tingginya angka pengangguran di Indonesia serta bagaimana upaya yang dapat dilakukan terkait dengan perbuatan kriminal yang terjadi sebagai akibat dari pengangguran tersebut.
Meningkatnya angka pengangguran di Indonesia hal ini merupakan dampak dari berbagai aspek baik itu aspek sedikitnya lapangan pekerjaan, aspek minimnya skill atau keahlian yang dimiliki, aspek akses tempat tinggal yang merupakan ekses buruk dari terjadinya ketidakseimbangan pembangunan atau ketidakpemerataan ekonomi, diantara aspek yang paling mendasar adalah aspek kebutuhan lapangan pekerjaan. Ketersediaan lapangan pekerjaan hampir disetiap Ibu Kota Provinsi selalu saja tidak seimbang dengan jumlah peminat pekerjaan yang ada hal ini diperparah dengan sejak awal tahun 2019 hingga tahun 2022 akhir negara Indonesia dan dunia dilanda oleh pendemi Covid-19 yanga berakibat pada merosotnya angka pemasukan bagi sebagian besar perusahaan sehingga menimbulkan pengaruh krisis keuangan yang berakibat kepada pemutusan hubungan kerja antara pihak perusahaan dengan para pekerja.
Disisi lain, meninggkatnya angka pengangguran itu sejalan dan parallel dengan meninggkatnya angka krimininalitas secara umum dilingkungan masyarakat. Secara teoritis, kiriminalistik dipicu oleh dorongan kehidupan yang serba sulit, dipicu oleh kondisi keluarga yang berkerungan dalam memenuhi kebutuhan hidup baik itu kebutuhan pangan, kebutuhan sandang, dan kebutuhan papan. Hal ini sebagaimana dikabarkan oleh media berita CNBC INDONESIA, yang menyatakan bahwa, “total pengangguran di Indonesia naik jadi 8, 42 juta orang”. Badan Pusat Statistic (BPS) melaporkan angka pengangguran di Indonesia 8, 42 juta orang pada periode Agustus 2022, naik dari sebelumnya 8, 40 juta orang pada Februari 2022. BPS mencatat penduduka usia kerja kini berjumlah 209, 4 juta orang, naik 2,71 juta orang. Dari jumlah tersebut, yang terserap menjadi angkatan kerja adalah 143, 72 juta orang atau naik 3, 57 juta orang dan bukan angkatan kerja sebanyak 65,70 juta orang atau turun 0,86 juta orang. “ tambahan angkatn kerja tak semua terserap disemua tenaga kerja dan sebagian menjadi pengangguran”, kata Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers, senin (7/ 11/2022).
Sebagaimana yang tertulis dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab XA Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28A menyatakan, “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Serta dalam Pasal 28D ayat (2), menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Kemudian dilengkapi oleh Pasal 28A ayat (3) menyatakan, “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Maka, berdasar kepada keberadaan pasal-pasal dalam konstitusi tersebut diatas keberadaan kebijakan yang dibuat oleh pengambil kebijakan (the official policy makers) haruslah berdasarkan pada konstitusi tersebut.
Jika ditelaah lebih dalam maka pihak yang paling bertanggung jawab terkait dengan keamanan atau terkait dengan “aman” nya rakyat sangat berkaitan dengan peran aktif pemerintah selaku penyelenggara negara yang memiliki kekuatan dan memiliki kewenangan untuk membuat suatu kebijakan tertentu terkait dengan kepentinga nasional. Dalam study ilmu Hukum Kebijakan Publik telah diuraikan teori-teori terkait dengan pemecahan persoalan tentang para pembuat kebijakan, yang dibagi menjadi dua yaitu:
State acthor/ the Official Policy Makers (actor negara) yaitu negara (pemerintahan baik dalam pengertian sempit ataupun dalam pengertian luas) memiliki otoritas dalam membuat kebijakan, kebijakan yang dibuat ini boleh bersifat internal, eksternal ataupun kebijakan itu bersifat dan berlaku untuk kedua-keduanya yaitu internal dan eksternal. Kewenangan dalam mebuat kebijakan ini harus diatur dan batasi oleh perundang-undangan hal ini demi terhidarnya adanya otoritarisme dalam kekuasaan terlebih lagi untuk menghindari adanya power absolutism dalam kekuasaan
Un Official Participants yaitu actor atau pelaku yang memiliki kekuatan atau potensi yang kuat untuk mempengaruhi kebijakan yang akan dibuat, yang akan dibuat atau yang pengaplikasian kebijakan tersebut. Actor diluar pemerintah ini secara legis dan secara formal tidak memiliki kekuatan hukum untuk membuat kebijakan. Kendatipun demikian, actor diluar pemerintah ini merupakan actor yang sangt mempengaruhi kebijakan suatu negara termasuk sangat mempegaruhi kebijakan pemeritahan di Indonesia yang secara politik hukum mengendepankan asas permusyawaratan sehingga aspirari-aspirasi yang disampaikan oleh berbagai pihak akan diterima meninimal sebagai bahan referensi-referensi utama.
Maka sebagai analisis dari kuatnya posisi negara dalam upaya mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia tidak akan selesai hanya dengan memperbanyak pelatihan-pelatihan yang bersifat soft skill atau hard skill. Pada posisi ini negara memiliki kewajiban mengupayakan, membuat atau memaksa apapun yang dapat diusahakan dalam rangka menekan angka kemiskinan. Kekuasaan negara yang dapat berupa memaksa dalam hal ini tentu saja dapat dipaksakan dengan mutlak dan dengan kajian yang mendalam. Serta pengetasan criminal yang terjadi karena sebab pengangguran tidak akan selesai dengan hanya memberikan hukuman yang berupa pidana kepada pelaku. Karena sejatinya secara normative mereka melalukan kejahatan bukan didorong oleh keinginan untuk hidup berlebihan atau bermewahan melainkan didorong oleh kondisi keluarga anak-anak dan istri yang membutuhkan pemenuhan-pemenuhan kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan sandang, kebutuhan pangan dan kebutuhan papan.
Halnya yang sama seharusnya juga berlaku untuk Un Official Participant (orang-orang atau lembaga yang mempengaruhi kebijakan/diluar pemerintahan) mereka yang tergolong pada posisi ini misalnya para pengusaha, partai politik, secara masyarakat secara umum dan personal-personal secara pribadi yang diharapkan perananannya dalam masyarakat. Mereka yang berada pada posisi diluar pemerintahan ini dapat secara massif menyuarakan bersama terkait dengan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak yang berkait dengan peluang kerja dan ekses negative dari pengangguran. Pengusaha memiliki modal untuk membantu rakyat dan membantu negara dalam mensejahterakan sosial, partai politik memiliki kekuatan politis dalam menekan kebijakan agar tetap dijalur positif, serta para personal-personal yang dianggap berpengaruh dapat menggerakkan setiap individu-individu yang lain terkati dengan upaya pengentasan pengangguran dan kemiskinan sehingga mencegah dari terjadinya krimininalistik ditengah-tengah masyarakat.
Komentar
Posting Komentar