halusinasi negara kesejahteraan di Ujung Tanduk

Oleh : Jufri Hardianto Zulfan, S.H.,M.H.,
Pemahaman awal, 
Cita-cita luhur yang tertulis jelas dalam pembukaan UUD 1945 tepatnya pada Alinea ke-4 yang berbunyi, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Halusinasi tentang munculnya negara kesejahteraan semakin terasa jauh dari kenyataan dan hanya menjadi kesia-siaan yang ditunggu berulang-ulang. Halusinasi tentang kesejahteraan rakyat dalam negara menjadi kenyataan di ujung mulut-mulut para pemimpin politik negara ini yang hampir semua pembicaraan dan hampir semua pidato mereka diahiri dengan kalimat “semua untuk kesejahteraan rakyat, demi rakyat, untuk rakyat dan kami bekerja semata-mata untuk rakyat”. Kenyang rakyat negeri ini dengan hal-hal seperti itu yang kemudian di ulang-ulang untuk kesekian kalinya. 
Tahun 2025 menjadi periode yang penuh tantangan bagi Indonesia, ditandai dengan meningkatnya kasus korupsi dan menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi negara. Fenomena ini tidak hanya menghambat proses pembangunan, tetapi juga mengancam stabilitas sosial dan demokrasi yang telah dibangun selama dua dekade terakhir. Awal tahun 2025 diwarnai dengan terungkapnya sejumlah kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi dan perusahaan milik negara (untuk jumlah kerugian negara milyaran ataupun triliunannya, pembaca Budiman dapat langsung mengeceknya diberbagai artikel atau deplatform media nasional yang berseliweran). Kasus-kasus ini mencerminkan lemahnya sistem pengawasan dan akuntabilitas di berbagai sektor. Seperti Skandal Korupsi Pertamina, Kredit Fiktif di LPEI, Korupsi di PT Timah. Hal tersebut diperparah dengan munculnya Krisis Kepercayaan Publik seperti Gerakan #KaburAjaDulu, Protes Mahasiswa "Indonesia Gelap", Penurunan Kepercayaan terhadap Institusi Hukum.
Tidak dapat kita pahami secara normal, bagaimana bisa dinegara ini penjahat (koruptor) begitu mudah dalam melaksanakan aksi-aksinya, dilakukan bertahun-tahun dan merugikan negara milyaran hingga ratusan triliunan dan celakanya itu terjadi seolah-olah secara paralel tanpa ada jeda rentang satu kasus dengan kasus yang lain. Lebih sial lagi ternyata kasus yang sedang diselidiki terkesan ditutup-tutupi serta seribukali celaka vonis hukumannya pun begitu ringan yang dilakukan oleh hakim. Kondisi buram tersebut diperparah dengan munculnya oknum-oknum yang memanipulasi makanan kebutuhan pokok, bahan bakar minyak, kebutuhan gas serta kebutuhan-kebutuhan mendasar yang dalam keseharian masyarakat selalu menjadi perhatian seperti penipuan tentang minyak goreng, beras dan lain sebagainya. Di sisi lain, tarif listrikpun semakin parah naik dan potongan nya. Bayar pajak begitu banyak tagihan dan begitu susah juga dalam proses pembayaran. Aneh memang.
Hampir keseharian kita dewasa ini dinegara ini selalu dicekoki dengan kekecewaan demi kekecewaan serta menipisnya rasa kepercayaan kepada penyelenggara negara. Tidak heran jika suatu waktu muncul keinginan untuk mencari dan menjadi warga negara asing saja. Karena bunuh diri sendiri jika tetap berharap kepada pejabat tersebut.    
Halusinasi tentang negara kesejahteraan akan tetap menjadi halusinasi dan tidak akan pernah siap untuk diwujudkan jika beberapa point ini terus saja seperti itu dan tidak ada perbaikan sama sekali. Point-point ini menjadi daftar kegiatan yang harus segera di eksekusi oleh negara melalui para pejabatnya. Diantara yang mesti dilakukan adalah:
Rekonstruksi hukum: rekonstruksi hukum sejogyanya bukan hanya sebatas membuat atau menambah pasal-pasal baru dalam perundang-undangan yang ada, atau membuat lembaga-lembaga baru atau bukan juga menambah personel atau pejabat baru. Akan tetapi lebih dari itu semua yaitu integritas, akuntabilitas, trust, kejujuran, akhlak yang mulia, serta skill dan kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaiknya. Kebaikan dan sikap bertanggung jawab yang ada pada orang atau pejabat atau pegawai yang bekerja dalam bidang hukum akan sangat memberikan masukan positif untuk rekonstruksi hukum di negara Indonesia. Dewasa ini, kita pahami bahwa Indonesia memang sudah kebanyakan undang-undang yang sudah mengatur akan tetapi kita kesulitan mencari tokoh-tokoh mana yang mampu memberikan dampak positif yang baik. Atau mudahnya adalah ketauladanan yang benar-benar memberikan contoh.
Penegakan hukum secara menyuruh (komprehensif): Penegakan hukum di Indonesia menghadapi berbagai tantangan seperti Intervensi dari Pihak Berkuasa, adanya campur tangan yang dapat mempengaruhi independensi lembaga penegak hukum. Ketimpangan dalam penegakan hukum kasus-kasus tertentu menunjukkan bahwa penegakan hukum lebih menonjolkan kepastian hukum dibandingkan rasa keadilan masyarakat. Rendahnya kesadaran hukum masyarakat, kurangnya pemahaman dan kepatuhan terhadap hukum. 
Memberikan hukuman dan penghargaan yang tepat dan sesuai: Penegakan hukum di Indonesia tidak hanya berkaitan dengan pemberian sanksi bagi pelanggar, tetapi juga menyangkut pemberian penghargaan kepada mereka yang taat dan berkontribusi dalam menjaga supremasi hukum. Dalam sistem hukum modern, efektivitas penegakan hukum sangat ditentukan oleh keseimbangan antara deterrent effect (efek jera) dari hukuman dan motivational effect dari penghargaan. Pemberian hukuman haruslah berdasarkan prinsip keadilan yang proporsional. Tujuannya bukan hanya untuk membalas perbuatan salah, tetapi juga sebagai: Pencegahan umum (general deterrence) pencegahan khusus (specific deterrence), rehabilitasi pelanggar, restorasi terhadap korban dan masyarakat. Penegakan hukum yang efektif bukan hanya soal menghukum pelanggar, tetapi juga tentang memberikan penghargaan kepada mereka yang menjunjung hukum. Dengan demikian, Indonesia tidak hanya menindak, tetapi juga mendidik dan membentuk masyarakat hukum yang beradab dan berkeadilan.
Tidak mudah memang untuk merubah negeri ini menjadi lebih baik. Butuh komitmen yang kuat dan integritas, akuntabilitas dan dipercaya dalam membangun negara ini. Perubahan setengah-tengah dalam membangun negara seperti yang selama ini kita lakukan justru hanya akan memperparah kondisi buruk di negara ini. Keseriusan dan akuntabilitas dalam pekerjaan terutama mereka-mereka yang bekerja di bidang public akan memberikan pengaurh yang besar dalam negara itu sindiri minimal karakter akuntabilitas tersebut mampu meningkatkan keprcayaan public terhadap pemerintah.



Komentar

Postingan Populer