Dinegara Hukum; Hukum Lemah.

Oleh: Jufri Hardianto Zulfan, S.H.,M.H.,
Direktur Riset Yayasan Kawah Novelti Indonesia

Kita harus segera berhenti hari ini untuk terlalu memuja-muja secara membuta tentang eksistensi dan kebaikan dari negara hukum, kefanatikan kita terhadap negara hukum membuat kita terkurung dalam tempurung yang sempit dan ketinggalan dengan perkembangan peradaban. Keagungan negara hukum yang selama ini kita bahas diberbagai ruang diskusi baik itu di lembaga atau institusi pendidikan seperti kampus-kampus ataupun di tempat-tempat yang bukan lembaga atau institusi pendidikan selalu saja tema hukum menjadi topik pembahasan yang menarik dan didambakan oleh semua orang. 
Pada kondisi saat ini, kita harus memberanikan diri untuk mengkritisi negara hukum kita dengan harapan menyumbangkan kebaikan untuk negara itu sendiri. Dalam konstitusi negara Indonesia tepatnya Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia menyatakan, “Indonesia adalah negara hukum”. sejarah mencatat bahwa konstitusi negara Indonesia sudah berumur lebih dari 77 (tujuh puluh tujuh) tahun jika dihitung dari awal mula Indonesia merdeka tahun 1945. Artinya penyataan terhadap negara hukum Indonesia sudah berumur lebih dari 77 tahun meskipun dalam kenyataannya konstitusi Indonesia sudah di amandemen sebanyak 4 (empat) kali dan kemungkinan untuk dilakukan untuk diamandemen akan terbuka lebar. Meskipun usia konstitusi kita sudah tergolong tua jika disandarkan dengan usia manusia (sebagian sarjana masih saja menganggap Indonesia negara yang masih muda) kondisi hukum di Indonesia juga tidak kunjung membaik dan juga tidak kunjung dewasa, tidak kunjung professional, proporsional dan akuntabel. Selalu saja ada banyak terjadi pelanggaran hukum yang terjadi yang dilakukan dari berbagai lini profesi atau keahlian baik itu pribadi ataupun organisasi dan kelembagaan. Panjangnya usia negara hukum Indonesia ternyata masih belum mampu menjadikan dan mewujudkan ide awal keberadaan negara hukum yang memiliki tujuan awalnya adalah keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. 
Menyoal dari kondisi diatas, maka perlunya keberadaan hukum progresif sudah sangat diharapkan keberadaannya di Indonesia. Mengeluhkan terjadinya peristiwa residivis membuat kita semakin bingung terkait dengan efektivitas hukum di Indonesia, bagaimana bisa narapidana yang sudah dipenjara beberapa tahun kemudian keluar lalu dalam waktu yang relative singkat mantan narapidana tersebut kembali menjadi tahanan di tempat yang sama akibat perbuatan yang sama atau akibat perbuatan yang berbeda. Kondisi ini memberikan dan menimbulkan pertanyaan kepada diri kita, apakah para mantan narapidana itu tidak mendapatkan jera ? Atau tidak mendapatkan rasa jera ? atau pembalasan hukum yang dia dapatkan selama di luar penjara ?. Penjara pada konsep awalnya harus menjadi wadah represif (pembalasan) terkait dengan suatu kejahatan sehingga akan muncul adanya akibat parallel atau berekor dari penerapan hukum itu. Orang-orang akan menjadi takut untuk melakukan kejahatan atau untuk melakukan tidak kejahatan yang sama. 
Istilah hukum progresif di sini adalah istilah hukum yang diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, yang dilandasi asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia. Satjipto Rahardjo merasa prihatin dengan rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum itu sendiri. Untuk itu beliau melontarkan suatu pemecahan masalah dengan gagasan tentang hukum progresif. Adapun pengertian hukum progresif itu sendiri adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan. Membangun sebuah sistem hukum yang sesuai dengan visi budaya bangsa Indonesia memang bukanlah pekerjaan mudah, dan tentu saja tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu tawaran paradigmatic Satjipto Rahardjo guna membangun sistem hukum Indonesia yang berpihak pada kesejahteraan rakyat (substancial justice) melalui paradigma hukum progresif bukanlah tanpa tantangan. Paradigma hukum legalistik yang saat ini menjadi mainstream hukum Indonesia, tidak lagi mampu membaca realitas hukum yang kompleks secara optimal, bahkan tertatih-tatih menyelesaikan masalah yang dihadapinya, namun bukan berarti akan mudah bagi paradigma hukum progresif untuk melanggeng menjadi alternative pengganti paradigmatic hukum Indonesia.
sedangkan penulis mengartikan hukum progresif dengan upaya penyesuaian hukum dan hukuman dengan kondisi kekinian disuatu masyarakat dalam suatu negara. Devenisi ini penulis ambil untuk lebih menyesuaikan dengan kondisi masyarakat dan kondisi kenegaraan suatu negara yang berbeda-beda. Hukum tidak boleh tertinggal dari keberadaan dan kemajuan zaman atau dari kemajuan prilaku masyarakat yang berbeda-beda sehingga diharapkan tidak akan terjadi lagi yang namanya kevakuman hukum.  
penulis memberikan dua kategori terkait dengan efektivitas hukum khsususnya hukum yang berlaku di negara Indonesia, yaitu:
Materi hukum, materi hukum (isi hukum) harus mampu mewadahi semua kondisi kekinian kehidupan sosial masyarakat di Indonesia. hal ini penting mengingat progresifisme hukum terkait dengan pemberlakuannya dimasyarakat. Peraturan-peraturan atau undang-undang warisan kolonial sudah selayaknya untuk diubah dan diganti dengan yang baru menyesuaikan dengan keadaan masyarakat. Serta menghindari materi hukum yang isinya saling berbenturan atau memiliki kemungkinan banyaknya multi tafsir. Sehingga hukum rentan untuk disalah gunakan.
Ketegasan hukuman, hukum yang tidak memiliki ketegasan dalam hukuman seolah-olah seperti harimau tanpa taring atau seperti seorang pria yang kehilangan keperkasaanya. Ketegasan hukum tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Ketegasan hukum membutuhkan elemen-elemen lainya seperti element pelaksanaan dari ketegasan hukum itu sendiri. Pelaksana hukum merupakan elemen yang krusial agar supaya ketegasan hukum dapat dilaksanakan dengan maksimal. Ketegasan hukum memiliki makna selalu ada dan pasti ada hukuman yang diberikan kepada para pelaku pelanggaran hukum (hal ini untuk memberikan pembalasan dan efek jera kepada pelaku). Hukuman tersebut juga akan menimbulkan efek preventif dan represif untuk kemungkinan-kemungkinan pelanggaran kedepannya. Sehingga dengan adanya ketegasan hukum diharapkan negara hukum Indonesia tidak hanya sebagai negara yang teoritis belaka mengaku sebagai negara hukum.
Sebagai penutup penulis ingin sampaikan bahwa. Andai ada jutaan produk hukum yang sudah disahkan dan bahkan sudah diedarkan di negara kita Indonesia. Akan tetapi syarat tentang ketegasan hukum juga tidak pernah atau hanya setengah hati dilakukan maka jutaan produk hukum itu tidak ubahnya seperti lembaran-lembaran koran yang pada akhirnya akan dibakar atau yang pada akhirnya akan dijual dengan satuan kiloan yang tidak ada artinya sama sekali kecuali menghasikan sedikit rupiah untuk mereka yang membutuhkan. Materi Hukum yang baik pada saat bersamaan membutuhkan penegakan dan ketegasan hukum yang baik pula. Sehingga terwujudkanya kebahagian sebanyak-banyaknya dapat tercapai secara komprehensif dan dinikmati oleh seluruh masyarakat secara umum sebanyak-banyaknya pula.

Komentar

Postingan Populer