Ketika Kekuasaan Negara Dialih Fungsikan(Pelaksanaan Perintah Konstitusi)
Oleh: Jufri Hardianto Zulfan, S.H.,M.H.,
Direktur Riset Kawah Novelti Indonesia, Pemerhati Hukum dan Politik
Sejujurnya, jika kita tinjau sejarah keberadaan negara dan sejarah tentang kemunculan negara atau sejarah hubungan manusia dengan negara. Maka, akan kita dapati bahwa pada awalnya dalam perkembangan kehidupan manusia keberadaan sejarah tidak terlalu diperhitungkan dan tidak terlalu terfikirkan, hingga kemudian muncul hal-hal atau muncul masalah-masalah yang kompleks dalam masyarakat terkait dengan keberadaan suatu kekuatan yang dapat memutuskan atau yang dapat menengahi konflik yang terjadi diantara mereka.
Dalam bukunya, Made Nurmawati dan kawan-kawan, yang menulis tentang negara disebutkan bahwa, dalam perkembangan sejarah, pemikiran tentang pengorganisasian kekuasaan berkembang melalui sejarah yang panjang. Demikian pula dengan fariasi struktur dan fungsi organisasi kekuasaan tersebut berkembang dalam banyak ragam dan variasi. Berbagai macam corak, bentuk, bangunan dan struktur organisasi dari suatu negara tidak terlepas dari politik kekuasaan yang mengorganisasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat yang bersangkutan. Karena kepentingan yang timbul itu berkembang dengan dinamis, maka corak negaranya juga berkembang dengan dinamikanya sendiri.
Perkembangan organisasi kenegaraan jika dicermati sebelum Abad ke-19, maka tampak bahwa kekuasaan Raja sangat kuat. Kekuasaan Raja sangat dominan, hal ini terjadi ketika masa Yunani Kuno maupun Romawi Kuno. Konsepsi kenegaraan kemudian berkembang terus sebagai akibat timbulnya revolusi yang menuntut kebebasan yang lebih luas bagi masyarakat dalam menghadapi penguasa. Pada awal abad pertengahan berkembang konsep negara jaga malam (nachwachatersstaat), dimana tugas negara hanya menjaga keamanan dan ketertiban semata. Barulah kemudian pada Abad ke-19 muncul pandangan yang lebih luas yang menghendaki peran negara yang lebih besar untuk menangani masalah kesejahtraan bagi masyarakat. Disinilah muncul konsep negara kesejahtraan (welvaartsstaat).
Untuk konteks Indonesia, kita fokus pada kalimat kesejahteraan yang menjadi tujuan utama yang disepakati sebagai syarat keberadaan negara, dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tepatnya dalam Bab XIV tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial pada Pasal 33 ayat (3) menyatakan, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kemudian pada ayat (4) menyatakan, perekonomian nasional dislenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Analisa pada point dari isi Undang-Undang Dasar 1945 tersebut adalah. Pertama, negara memiliki kekuasaan atau menguasai apapun yang berada di atas, dan dibawah negeri tersebut baik itu berupa yang ada didarat, dalam perut bumi dalam laut bahkan hingga menguasai udara yang ada. Hanya saja, kalimat konstitusi tidak berhenti sampai disitu masih ada kelanjutan yang penulis anggap sangat penting yaitu “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Berarti intinya adalah seberapa besarpun kekuasaan yang dikelola ataupun yang dimiliki oleh negara adalah berorientasi pada kemakmuran rakyat.
Selanjutnya pada Pasa 33 ayat (4) menyatakan perekonomian nasional, diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangaan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Di paragraph ini ada kalimat demokrasi, sedangkan demorasi adalah kekuatan ataupun kekuasaan berada sesungguhnya ditangan rakyat. Artinya. Menyelenggaraan perekonomian atau hal-hal yang menjurus kepada perekonomian harus berdasarkan pada kehendak rakyat, kepentingan rakyat dan bukan selainnya.
Rumusan-rumusan Pasal perpasal yang terdapat dalam konstitusi yang seharusnya menjadi rel bagi penyelenggara negara akan memudahkan konsep pelaksanaan kebijakan bukan justru menjadikannya sebagai alasan untuk dan atas nama konstitusi justru melanggar prinsip-prinsip dasar dari kehendak rakyat yaitu kesejahteraan. Para pendiri bangsa ini telah berdebat panjang tentang dasar negara, mengenai isi dan pengaplikasiannya hingga berakhir pada resutante (kesepakatan) berupa Undang-Undang Dasar 1945 yang seharusnya dapat diterapkan dengan baik oleh segenap penyelenggara secara utuh. Mengabaikan dengan cara tidak melaksanakan yang terdapat dalam rumusan Undang-Undang Dasar, itu tampak seperti penghinaan terhadap hasil fikiran ratusan tokoh bangsa, tampak seperti hinaan terhadap hasil keputusan bersama yang dibuat oleh para pendiri negara ini. Oleh sebab itu, mustahil rasanya negara ini menjadi aman dan damai, jika aturan pelaksana “utama” nya saja yang berupa Undang-Undang Dasar 1945 diabaikan dan tidak diterapkan. Selama kondisi kita seperi itu, maka selama itu pula cita-cita yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar dan Isi Undang-Undang Dasar 1945 tampak seperti cerita dongeng yang terus digaungkan, dihapal tanpa ada perubahan sama sekali pada negeri ini. Hal inilah yang disebut dengan negara kesejahteraan utopis.
Komentar
Posting Komentar