Mengukur Moralitas Dalam Politik
Oleh : Jufri Hardianto Zulfan, S.H., M.H.,
(Direktur Riset Kawah Novelti Indonesia, Pemerhati Hukum dan Politik).
Tidak ada satupun yang diinginkan oleh negara yang merdeka terkecuali kemerdekaan itu sendiri, karena realitasnya banyak negara yang merdeka hanya formalitas belaka dan terjajah dari segi perekonomian, merosotnya kualitas pendidikan dan sembrautnya berbagai persoalan yang benar-benar menjajah rakyat dinegeri ini. Kita hari ini tidak dapat lagi berbicara hanya seputar ilmu dan pengetahuan saja, dan melupakan esensi moral dalam relitas kehiudupan
Secara naluriah, setiap individu-individu tentu saja menginginkan popularitas, jabatan yang tinggi, perekonomian yang memuaskan serta penghargaan yang sebesar-besarnya dari manusia-manusia yang lain, hal inilah yang sering kali mendorong manusia untuk terus memacu diri mengapai berbagai keinginan-keinginan yang begitu inginnya diraih. Disisi lain, tanpa disadari semakin bernafsunya seseorang untuk mendapatkan suatu pengakuan dari manusia lain tidak sedikit pula mereka harus mengorbankan manusia lainnya. Dalam tulisan ini penulis hendak menyampaikan berbagai bentuk moral para tokoh politik (pejabat) kita dewasa ini, dan tentu saja penulis menyerahkan seutuhnya penilaian public terkait dengan perkembangan moral dan menilainya dengan jujur.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengungkapan bahwa yang dimahsud dengan moral adalah akhlak, budi pekerti, atau susila. Dalam suatu tulisan menurut Kohlberg dalam santrock menyampaikan bahwa ada enam tingkatan perkembangan moral. Keenam tahapan perkembangan moral dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan antara lain pra-konvensional, konvensional, dan pasca konvensional.
1. Pada tingkat Pra-Konvensional adalah tingkat terendah dari penalaran moral. Pada tahap ini moral baik dan buruk diinterpretasikan melalui hadiah (reward) dan hukuman (punishment), pada tahap ini penulis terangkan bahwa moral akan di pandang bobrok jika seseorang terkena suatu hukuman dan tentu saja semakin besar hukuman semakin bobrok pula moral orang tersebut seperti halnya para pejabat-pejabat yang dihukumi dengan hukuman berat, lebih dari itu, pada tahap ini munculnya individualisme yang kuat pada fase ini memenpati pada posisi “apa untungnya buat saya” atau lebih mencerminkan kebutuhan diri sendiri pada fase inilah munculnya kesewenang-wenangan.
2. Selanjutnya pada tahap Konvensional, pada tahap ini individu mulai memberlakukan standar tertentu, tetapi standar yang ditetapkan oleh orang lain seperti pemerintah dan mulai membanding-bandingkan dengan pandangan dan harapan masyarakat seperti halnya keteraturan hukum, keadilan dan kewajiban. Artinya pemenuhan kewajiban terhadap otoritas adalah hal yang wajib dipatuhi dan kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Para tokoh pada fase ini sudah mulai berdiskusi dengan lapisan masyarakat dan tentu saja bukan sekedar pencitraan dan blusukan semata.
3. Tahap Pasca Konvensional, pada tingkatan ini individu-individu menyadari adanya jalur alternative, mengeksplorasi pilihan ini lalu memutuskan melalui kode moral personal dan mulai memiliki pandangan bahwa individu-individu memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda dan menghargai tanpa secara memihak, hingga pada tahap ini menyimpulkan bahwa timbul kesadaran bahwa setiap orang tidak harus memiliki nilai-nilai dan pendapat yang sama, oleh karenanya hukum dapat diubah secara demokratis. Dan juga pada fase ini seseorang telah mengembangkan standar moral berdasarkan hak asasi manusia universal maksdunya adalah kebenaran dihayati sebagai hasil dari suara hati yang logis dan sesuai dengan prinsip-prinsip etika universal yaitu prinsip keadilan, pertukaran hak, keseimbangan, dan kesamaan hak asasi manusia serta penghormatan terhadap martabat manusia yang berasal dari dalam diri sendiri. Pada tahap ketiga ini penting dimiliki oleh para anggota parlement agar kesepakatan suatu putusan dapat diputuskan dengan pertimbangan yang matang dengan berbagai pembahasan yang mendalam.
Komentar
Posting Komentar