Ironi Implementasi Pasal 1 ayat 3 UUD NRI : Negara Indonesia Adalah Negara Hukum

 

Jika kita telaah lebih dalam tentang ketatanegaraa Indonesia sejak awal-awal kemerdekaan tahun 1945 maka kekuasaan yang pertama kali terbentuk bukanlah kekuasaan eksekutif bukan pula kekuasaan yudikatif. Faktanya bahwa, yang pertama kali terbentuk adalah suatu Badan/organ/Lembaga yang dinamakan dengan BPUPKI yang memiliki tugas mirip dengan kekuasaan legislasi yaitu membuat atau merumuskan suatu aturan dan perundang-undangan. 

Hingga dalam suatu rapat Otto Iskandar Dinata memberikan opsi yang kemudian secara aklamasi di setujui oleh mayoritas peserta rapat yaitu penunjukan Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai wakil Presiden. Ini memberikan pengertian kepada kita bahwa Lembaga legislasi memberikan legitimasi kepada seeorang untuk menjadi pemimpin pada kekuasaan eksekutif nantinya. Ide pokok disini adalah bahwa bagaimana kekuasaan legislative yang memberikan pengaruh yang besar terhadap kekuasaan eksekutif.

Pada konsep ini, adanya kejelasan tentang kekuasaan legislative dan eksekutif menjadi sangat penting. Dalam hukum tata negara, pandangan tentang pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislative adalah suatu prinsip pada negara-negara modern yang tidak dapat di elakkan. Pemikiran pemisahan tentang kedua kekuasaan itu tercermin dari perbedaan yang sangat kental tentang tugas dan peran masing-masing. Maka tidak layak jika ternyata kekuasaan eksekutif mendominasi pengaruhnya secara politik terhadap kekuasaan legislative begitupun sebaliknya.

Maka berdasarkan Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan Negara Indonesia Adalah Negara Hukum memberikan garis yang jelas dan tegas tentang kekuasaan masing-masing Lembaga negara. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah apakah masing-masing kekuasaan itu telah melakukan tugas dan kewenangannya? berani mengambil kebijakan jika salah satu dari kekuasaan tersebut terindikasi melakukan perbuatan yang kita sebut dengan “abuse of power”. Miriam Budiardjo dalam buku Memahami Kekuasaan Politik karya Muhtar Haboddin menjelaskan bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok manusia untuk memengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan. Jabatan dan kekuasaan merupakan dua hal yang saling berkaitan. Saat seseorang memiliki jabatan, secara otomatis ia akan mendapatkan kewenangan-kewenangan tertentu yang disebut kekuasaan. Maka untuk mengindari penyalahgunaan kekuasaan tersebut untuk dewasa ini kita tidak bisa hanya bersandar pada hukum belaka karena pada faktanya Sebagian kasus hukum atau Sebagian besar kasus hukum, hukum selalu dimanipulasi oleh berbagai kepentingan seseorang, kelompok dan sebagainya.

Sebab itu, ironi Implementasi Pasal 1 ayat 3 UUD NRI “Negara Indonesia Adalah Negara Hukum” kita hari ini tampak semakin menjadi-jadi. Kebingungan kita tentang tugas dan kewenangan para pemangku kekuasaan memperjelas paradigma keruhnya wajah hukum di negara Indonesia. Dalam suatu acara yang diberitan oleh Humas Mahkamah Konstitusi salah seorang hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan “Jadi kalo pertanyaannya negara hukum yang mana, kita sepakat bahwa Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 mengatakan, Negara Indonesia adalah negara hukum.

Menurut Arief, untuk mengetahui negara hukum yang mana, maka harus melihat Pembukaan UUD 1945 yang kemudian dikaitkan dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. “Jadi intinya, penyelenggaraan Negara Republik Indonesia ada pada prinsip kalo kita baca senafas tidak sekedar negara hukum Indonesia tapi negara hukum yang demokratis,” lanjut Arief.  Selain itu, menurut Arief, ada negara hukum yang tidak demokratis. Ada pula negara hukum yang berdasarkan otoritarian. Indonesia memilih negara hukum demokratis. Negara yang dibangun oleh Indonesia adalah negara hukum demokratis, negara yang berdasar konstitusi yang demokratis atau negara demokrasi konstitusional. “Negara hukum yang demokratis tidak diletakkan dalam negara hukum yang sekuler tetapi negara hukum yang demokratis berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” tegasnya.

System demokratis di Indonesia tentu saja tidak lepas dari teori yang dikemukakan oleh Montesquie dengan “trias politica”nya. Konsep Trias Politica, berasal dari bahasa Yunani yang artinya Politik Tiga Serangkai. Menurut Montesquieu, ajaran Trias Politica dikatakan bahwa dalam tiap pemerintahan negara harus ada 3 (tiga) jenis kekuasaan yang tidak dapat dipegang oleh satu tangan saja, melainkan harus masing-masing kekuasaan itu terpisah. Pada pokoknya ajaran Trias Politica isinya tiap pemerintahan negara harus ada 3 (tiga) jenis kekuasaan yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.

Maka Kembali pada tema diatas, penerapan negara hukum berdasarkan konstitusi yang ada di Indonesia sangat dipengaruhi oleh bagaimana persinggungannya dengan kekuasaan. Baik itu kekuasaan eksekutif, legislative dan yudikatif. Kendati demikian, solusi agar persinggungan kekuasaan dengan hukum yang dapat membuat hukum tetap eksis adalah setiap kekuasaan negara itu mesti berjalan sesuai dengan kewenangannya misalnya kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai Lembaga yang memiliki kewenangan “Controling” terhadap pemerintah (eksekutif) harus benar-benar berdiri tegak sesuai dengan amanat konstitusi.

Begitu juga dengan kekuasaan kehakiman (misalnya kekusaan Mahkamah Konstitusi) yang harus berjalan sesuai dengan rel-rel hukum positif yang mengaturnya. Dikatakan bahwa: Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Pelanggaran dimaksud sebagaimana disebutkan dan diatur dalam ketentuan Pasal 7A UUD 1945 yaitu melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negar, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka sudah menjadi tanggung jawab Mahkamah Konstitusi secara konstitusional untuk memvonis apapun permasalahan yang dianggap bertentang dengan konstitusi baik itu berbentuk pelanggaran hukum maupun pelanggaran norma-norma yang dihormati dimasyarakat.

Terakhir penulis sampaikan, kejadian atau situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan atau yang seharusnya terjadi, tetapi sudah menjadi suratan takdir tentang wajah gelap penegakan hukum di Indonesia menjadi paradigma atau tentang kondisi negara hukum Indonesia akan tetap gelap selama kekuasaan-kekuasaan terbesar di negara ini tidak mengindahkan ayat-ayat Konstitusi dan justru memfokuskan diri pada ayat-ayat kepentingannya.

Oleh: Jufri Hardianto Zulfan, S.H., M.H.,

Dosen Hukum

Direktur Riset Yayasan Kawah Novelti Indonesia




Komentar

Postingan Populer