Nepotisme Berkedok Nasionalisme

Oleh: 
Jufri Hardianto Zulfan, S.H., M.H.,
Dosen Hukum Universitas Sains dan Teknologi Indonesia
Direktur Riset Kawah Novelti Indonesia
Ketua Divisi Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia PAHAM-RIAU

Nepotisme berkedok nasionalisme semakin memukul mundur dan semakin melukai akal dan perasaan kita sebagai warga negara Indonesia yang telah disamakan status dan keadaannya seperti yang tertuang dalam asas equality before the law, tidak ada perbedaan perlakuan, perbedaan kesempatan dan perbedaan-perbedaan lainnya, konsep yang sama pun juga telah hadir dalam perundang-undangan di republik ini. Jika kita ingin melirik sedikit saja tentang masa lalu bagaimana kedewasaan bernegara khususnya oleh penyelenggara negara, tentu akan dilihat ada perdebatan yang mencolok tentang bagaimana system pemerintahan yang ingin dibentuk serta bagaimana konsep pemilihan pemimpin yang akan dilakukan atau justru pemilihan itu ditunjuk saja layaknya system pemerintahan yang berlaku dikerajaan-kerajaan masa lalu. Pada posisi ini penulis tidak sedang ingin mengiring opini public agar sesuai dengan apa yang penulis inginkan, akan tetapi lebih mengarah kepada kesadaran bernegara yang harus kembali kita hangatkan dan kita pupuk kembali. Kita tidak menginginkan adanya segelintir keluarga-keluarga tertentu yang mendominasi kekuasaan, yang mendominasi perekonomian serta yang mendominasi segala apapun yang menjadi sumber kekayaan negara. 
Jika kita cek dalam Undang-Undang Dasar 1945 tepatnya pada Pasal 34 yang menyatakan bahwa “kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar” membuktikan bahwa negara itu “wajib” atau “kewajiban negara” itu adalah memelihara fakir miskin dan anak terlantar agar mereka tidak miskin dan tidak terlantar. Kalimat “memelihara” jika dikembangkan makna dan pengertiannya memiliki bentuk perintah. Perintah yang langsung ditujukan kepada negara oleh Konstitusi, itu artinya ketika negara tidak mengindahkan perintah konstitusi berarti negara melawan konstitusi maka itu mesti dipertanggungjawabkan. Lalu siapa yang akan dihukum ? apakah negara dapat dihukum? Atau siapa yang dihukum? tentu saja yang dihukum melalui pejabat-pejabat negara yang tidak relevan, tidak memiliki kualifikasi, dan tidak memiliki skill dan pemahaman yang baik terkait dengan dengan pengelolaan negara. Serta Pasal 33 ayat (3) menyatakan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Ternyata, fakta Sejarah mencatatkan kepada kita tidak ada urusan dalam pemilihan pemimpin dinegeri Indonesia dengan keluarga bahkan sangat tidak berkepentingan memasukkan keluarga dalam kepentingan-kepentingan umum terlebih lagi yang sifatnya nasional. Sialnya, 79 (Tujuh puluh Sembilan tahun) pasca kemerdekaan semua kebijaksanaan yang sudah dibudidayakan oleh founding father negeri ini seolah-olah tiada arti sama sekali. Paradigma penentuan calon pemimpin lagi-lagi ditentukan oleh factor yang sifatnya kedekatan biologis dan tidak mementingkan sama sekali factor idealis, professionalistas dan akuntabilitas.
Sejujurnya norma yang mengatur tentang larangan nepotisme tertulis lengkap dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme khususnya dituliskan dengan lengkap dalam Pasal 1 huruf (5) “Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan Masyarakat, bangsa dan negara”. Sedangkan Pasal 22 menerangkan tentang sanksi jika perbuatan tersebut dilakukan menyatakan “setiap penyelenggara negara atau anggota komisi pemeriksa yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun da paling lama (dua) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”
Sebenarnya telah jelas dan undang-undang tentang larangan perbuatan nepotisme itu serta telah jelas pula apa sebenarnya nepotisme itu sehingga setiap orang dapat mamahami tentang nepotisme. Lebih lengkap lagi bahwa perbuatan tersebut dibarengi denda dan atau sanksi penjara ataupun uang. Lalu kemudian dewasa ini mata kita dengan sangat jelas menyaksikan perbuatan-perbuatan nepotisme yang nyata yang berbalut dengan tatacara yang memang tidak secara eksplisit dituliskan dalam undang-undang.
Kita selayaknya bertanya, mengapa dalam undang-undang ini muncul larangan nepotisme dan dianggap sebagai perbuatan pidana yang melawan hukum ? tentu saja jawabannya adalah penyelenggaraan negara ini berdasarkan pada semangat kekeluargaan, musyawarah, demokrasi dan keterbukaan serta perinsip persamaan (equality before the acces). Negara tidak boleh yang kekuasaannya berada pada tangan satu orang, satu keluarga atau beberapa keluarga. Akan tetapi kekuasaan negara itu terbuka untuk siapa saja yang memang kompeten dibidangnya. Kekuasaan negara bersifat umum (public territorial). Maka akan sangat berbahaya sekali jika public territorial ini justru di monopoli oleh segelintir kalangan. Akan tetapi, suka atau tidak suka faktanya nepotisme berkedok nasionalisme sudah menjadi-jadi dan sudah ramai sekali dilakukan dan ajaibnya seakan-akan undang-undang yang melarang nepotisme yang penulis singgung diatas tidak pernah ada sama sekali serta kondisi ini diperparah dengan kondisi apparat penegak hukum yang se akan-akan lupa terkait dengan undang-undang itu dan pelanggaran terhadapnya.      



 

Komentar

Postingan Populer