Putusan Mahkamah Konstitusi: Menjadi Tembok Tinggi Oligarki
Dosen
Hukum Universitas Sains dan Teknologi Indonesia
Direktur
Riset Kawah Novelti Indonesia
Ketua
Divisi Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia PAHAM-RIAU
Tulisan
singkat ini mencoba mengulas tentang keadaan krusial yang terjadi di Indonesia
pasca dikeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII,
yang berkaitan dengan syarat pencalonan calon kepala daerah serta yang
berkaitan dengan ambang batas pencalonan calon kepala daerah. Putusan ini
(keduanya) menjadi begitu krusial dan penting karena putusan tersebut
dikeluarkan pada saat mendekati pesta pemilihan kepala daerah hindak
diselenggarakan. Pada kesempatan ini, penulis tidak hendak membahas secara
keseluruhan terkait denga nisi putusan itu karena menurut penulis semua kita
sudah mengetahui dari berbagai media terkait dengan materi putusan baik itu
sebagian atau seutuhnya.
Perdebatan
yang muncul adalah bagaimana tentang kondisi ternyata Mahkamah Konstitusi
membuat norma yang sama sekali tidak ada dalam aturan perundangan yang awalnya
memang tidak ada? Mahkamah Konstitusi faktanya menambah sebagian dari isi
materi undang-undang tersebut. Maka dalam konteks ini apakah Mahkamah
Konstitusi memilki kewenangan atau tidak memiliki kewenangan? Untuk menjawab permasalah tersebut tentu saja
sebagai negara hukum kita harus merujuk kepada aturan hukum yang berlaku
tepatnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Bab I
Ketentuan Umum Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1.
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Seperti
tertuang dalam Bab III Kekuasaan Mahkamah Konstitusi Bagian Pertama Tetang
Wewenang, “Pasal 10 (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c.
memutus pembubaran partai politik; dan d. memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.
Maka
berdasarkan Pasal 1 yang disebutkan diatas, karena Mahkamah Konstitusi
merupakan bagian dari pelaku kekuasaan kehakiman tentu saja luaran dari
kekuasaan kehakiman adalah adanya putusan terkait dengan teks dan konteks yang
sedang di ajukan untuk diujikan. Lalu apakah putusan yang dikeluarkan dalam
Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dianggap sebagai norma ? dan samakah dengan
norma yang dimaksudkan oleh DPR RI yang sebagian anggotanya menyatakan bahwa
Mahmakah Konstitusi tidak boleh membuat norma baru ? Jika cek defenisi norma
misalnya kita ambil dari ahli E. Utrecht yang mendefenisikan norma sebagai segala himpunan petunjuk
hidup yang digunakan untuk mengatur tata tertib dalam masyarakat. Petunjuk itu
juga dipakai dalam mengatur kehidupan bangsa, dan harus ditaati oleh
masyarakat. Jika melanggar, akan ada konsekuensinya. Maka aturan yang diluarkan oleh Mahkamah
Konsitusi juga merupakan petunjuk yang dapat menjadi aturan dalam kehidupan
bernegara. Maka akan aneh sekali jika diantara kita masih mempertanyakan apakah
MK boleh membuat norma. Saya kira bukan hanya boleh tetapi merupakan kewajiban
yang diperintahkan oleh perundang-undangan.
Sedangkan norma yang dimaksudkan oleh DPR RI
adalah undang-undang yang memang dari defenisi dan prosedur pembuatan sangat
berbeda dengan putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi, pandangn
kerdil seperti ini akan dilihat aneh dan sangat tidak pantas yang memiliki
kemungkinan untuk mengamputasi ruang gerak dari Mahkamah Konstitusi yang
sengaja dilakukan untuk mengakali kepentingan politis mereka (political
interest).
Menyamakan norma yang dikeluarkan oleh Mahkamah
Konstitusi dengan norma yang dihasikan oleh DPR-RI adlah suatu yang sifat
fatal. Dari sisi hieraki kewenangan dapat katakana bahwa semua legislasi yang
dihasilkan oleh DPR-RI dapat diujikan oleh kepada MK hal ini memang dituliskan
dalam Konstitusi secara gamblang. Maka pembangkangan DPR-RI terkait dengan
putusan MK yang dianggap mengangkangi kepentingan mereka itu dapat dianggap
sebagai pembangkangan terhadap konstitusi.
Maka pada posisi ini, Mahkamah Konstitusi
menjadi tembok tertinggi bagi para oligarki yang akan melanggengkan
kekuasaannya dengan meneruskan kekuasaan kepada anak-anak atau kepada
kolega-kolega yang diharapkan tetap menjamin kepentingan mereka secara khusus.
Komentar
Posting Komentar