Penegakan Hukum: Semakin Terdengar Omong Kosong

 

Jufri Hardianto Zulfan, S.H.,M.H.,

Dosen Hukum Universitas Sains dan Teknologi Indonesia

Kepala Divisi Pusat Pengembangan Sumber Daya  Manusia (PPSDM) PAHAM-RIAU

 

Seringkali masyarakat terkesima dengan perkataan-perkataan maupun tulisan-tulisan penegakan hukum yang menunjukkan keberpihakan kepada kebenaran khususnya Masyarakat menengah kebawah. Penegakan hukum hanya tampak apabila kepentingan pribadi atau golongan tertentu (personal interest or group interest). Masih segar dalam ingatan kita seorang pria muda miskin yang tersangkut masalah hukum maka seolah-olah satu dunia menghukumnya. Sementara disisi lain, kasus-kasus besar yang merugikan triliunan rupiah negara ditempatkan pada tempat yang dianggap normal dan biasa saja, sebut saja kasus korupsi timah baru-baru ini yang merugikan negara lebih dari 300 Triliun rupiah, sementara pelaku obstruction of justice (Obstruction of justice adalah tindakan yang menghalang proses hukum atau keadilan dalam hukum pidana. Tindakan ini dapat berupa tindakan yang dilakukan, tidak dilakukan, atau mengancam untuk menunda atau mengganggu proses hukum) dengan kerugian sebanyak itu pihak kejaksaan hanya menuntutnya 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan. Serta ajaibnya pengadilan justru memutus lebih rendah lagi yaitu 3 (tiga) tahun penjara yang kesemuanya ini sangat berat diterima oleh akal sehat terkecuali hanya akal-akalan.

Jika kita simak pernyataan, peneliti dari Pusat Kajian Anti korupsi Universitas Gadjah Mada. Zaenur Rohman, berpandangan putusan yang rendah terhadap Toni Tamsil merupakan buntut dari rendahnya tuntutan jaksa penuntut umum. Meskipun majelis hakim bisa memutus lebih tinggi, biasanya tidak jauh dari tuntutan jaksa penuntut umum yang hanya 3 tahun 6 bulan.

”Untuk kasus seserius kasus timah ini, seharusnya jaksa penuntut umum tegas dan keras dengan mengajukan tuntutan yang tinggi. Undang-Undang Tipikor menyediakan tuntutan maksimal yang tinggi, yakni 12 tahun. Tapi, ternyata jaksa hanya menuntut dengan yang paling rendah,” kata Zaenur.

Dalam Pasal 21 UU Tipikor disebutkan, terdakwa yang dijerat dengan pasal tersebut diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling tinggi 12 tahun. Selain itu, terdapat ancaman denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta. Adapun kerugian keuangan negara dalam kasus timah sebesar Rp 300 triliun.

Menurut Zaenur, tuntutan jaksa penuntut umum mencerminkan ketidakseriusan kejaksaan. Meskipun Toni Tamsil tidak terkait pidana pokok, perintangan penyidikan, tinggi-rendahnya tuntutan dapat menunjukkan keseriusan kejaksaan dalam menangani kasus tersebut.

Hal tersebut diperparah dengan munculnya pandangan terhadap penilaian mengenai ketidakseriusan kejaksaan dengan tuntutan yang rendah tersebut, Harli menjawab, tuntutan pidana penjara 3 tahun dan 6 bulan diputuskan setelah mempertimbangkan hal-hal yang meringankan. Di antaranya Toni Tamsil belum pernah dihukum, bersikap sopan, dan kooperatif selama persidangan suatu alasan yang menurut penulis terkesan di cari-cari.

Sementara kerugian alam Indonesia akibat korusi timah tersebut seperti yang disampaikan oleh Akademisi dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Bambang Hero Saharjo, yang dalam kasus PT Timah Tbk menjadi ahli, dalam paparannya, pertengahan Februari lalu, mengatakan, kerugian akibat kerusakan lingkungan hidup yang mencapai ratusan triliun rupiah dihitung berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Kerugian tersebut terbagi menjadi kerugian lingkungan ekologis, kerugian ekonomi lingkungan, dan biaya pemulihan lingkungan.

Berita-berita semacam ini terlalu sering melalang buana diberanda layar televisi atau layar genggam Masyarakat yang meninggalkan kesan bahwa omong-kosong penegakan ditegakkan untuk mereka yang berduit meskipun mereka benar-benar telah merugikan negara ini. Kondisi-kondisi semacam ini dikawatirkan cepat atau lembat akan menurunkn minat public untuk percaya terkait dengan independensi hukum dan apparat penegakan hukum pada yang kalua kita cek dalam konstitusi hukum justru harus menjadi panglima menjamin kedamaian dan kesejahteraan Masyarakat bukan justru menjadi suatu hal yang kontroversial dan membuahkan pesimistis akut Masyarakat tentang negara hukum.

Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Makna dari pasal ini adalah bahwa Indonesia menganut prinsip supremasi hukum, yaitu hukum dijunjung tinggi sebagai pedoman dan penentu arah kebijakan. Bukan hukum yang diarah-arahkan untuk mengatur, menjamin dan melindungi kepentingan orang atau kelompok orang tertentu. Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".Pasal ini mengandung beberapa makna, di antaranya : Negara bertanggung jawab untuk melindungi dan menyelamatkan bumi, air, dan kekayaan alam lainnya agar tetap lestari dan dapat dinikmati oleh generasi mendatang,  Posisi rakyat adalah yang utama.

Dari pembahasan diatas, kita semakin tersadarkan bahwa yang terpenting dalam penegakan hukum ada kualitas pribadi yang memiliki moral dan etika yang bersih yang berorientasi kepada kebenaran dan kebaikan bersama. Oleh sebab itulah, penanama nilai-nilai moralitas dan etika menjadi sangat penting terutama mereka-mereka yang suatu saat nanti memiliki keinginan untuk menjadi aparat penegak hukum. Maka Lembaga-lembaga Pendidikan di Indonesia baik yang terendah hingga yang tertinggi (perguruan tinggi) tidak boleh berhenti pada menciptakan pelajar atau mahasiswa yang bernilai tinggi dan berilmu banyak. Akan tetapi juga harus mampu menghasilkan lulusan yang bermoralitas dan beretika atau berakhlak yang baik sebagaimana hal itu menjadi tujuan yang tertuang dalam konstitusi Pasal 31 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945) menyatakan bahwa pemerintah harus mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang dapat meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.  Dalam ketentuan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 secara jelas diamanatkan bahwa kewajiban pemerintah dalam mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Kewajiban yanga bersifat mutlak yang memang secara jelas diatur. Hanya saja pertanyaan lanjutannya adalah apakah pemerintah benar-benar telah maksimal melakukan perintah konstitusi tersebut atau justru pemerintah sedang sibut menyiap trik dan intrik kelanjutan, melanjutkan dan dominasi kekuasaan yang selama ini dipegangnya. Jika itu yang dilakukan oleh pemerintah (teruma Presiden selaku kepala kekuasaan eksekutif atau eksekusi) maka negara tersebut menurut hemat penulis berada pada masa atau fase kemunduran dan bahkan hingga bisa bada pada posisi cheos.



Komentar

Postingan Populer