Analisis Konstitusionalitas Jika Wakil Presiden Diberhentikan

Oleh : Jufri Hardianto Zulfan, S.H., M.H., 
Dosen Hukum Universitas Sains dan Teknologi Indonesia (USTI)
Kepala Divisi Pusat Pengembangan Sumber Manusia (PPSDM-PAHAM RIAU)

Sebagaimana kondisi negara Indonesia yang secara konstitusional menyatakan sebagai negara hukum, maka tentu saja setiap kebijakan kenegaraan dan yang bersifat public mestilah diatur dengan hukum ataupun yang biasa kita sebut dengan perundang-undangan. Pengaturan tentang wajibnya keberadaan dasar hukum pada setiap kewenangan yang dimiliki oleh pejabat public atau teknis yang dimungkinkan terjadi dan berakibat terhadap kondisi public mesti diatur secara jelas dalam konstitusi atau peraturan perundang-undangan lainnya dengan harapan tidak adanya kesewenang-wenangan dan tidak adanya perbuatan yang melampaui kewenanganya atau yang disebut dengan "ultra vires". Istilah ini berasal dari bahasa latin yang berarti "melampaui kekuasaan" atau "di luar kekuasaan". Dalam konteks hukum, ultra vires merujuk pada tindakan yang dilakukan oleh individu atau badan hukum (seperti pejabat atau lembaga negara) yang melebihi batas-batas kewenangan yang diberikan oleh hukum atau peraturan yang berlaku.
Pemberhentian Wakil Presiden (Wapres) dalam sistem hukum Indonesia dapat saja terjadi karena beberapa alasan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan terkait. Berikut adalah analisis hukum mengenai penyebab diberhentikannya Wakil Presiden di Indonesia: Pertama, Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) mengatur pemberhentian Wakil Presiden dalam Pasal 7A dan 7B dan Pasal 8. Dalam pasal ini, disebutkan bahwa Wakil Presiden dapat diberhentikan jika terdapat hal-hal tertentu yang mempengaruhi kedudukannya. Kedua Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Pasal ini menyatakan bahwa Wakil Presiden dapat diberhentikan apabila Presiden tidak dapat menjalankan kewajibannya. Pasal 7A berbunyi “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sedangkan Pasal 7 B ayat (1) menyatakan “Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Serta Pasal 8 ayat (1) menyatakan “Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”.
Secara teknis beberapa situasi ini dapat menyebabkan digantinya Presiden atau Wakil Presiden:
Presiden atau Wakil Presiden meninggal dunia.
Presiden mengundurkan diri.
Presiden tidak mampu menjalankan tugasnya secara fisik maupun mental (misalnya, karena sakit atau kondisi lainnya yang menghalangi kelayakan untuk menjalankan tugas).
Melakukan pelanggaran hukum
Seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, dan perbuatan pidana lainnya
Tidak memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakill Presiden
Dalam hal ini tepatnya kondisi Pasal 8 ayat (1) hingga Pasal 8 ayat (3) bahwa Wakil Presiden akan menggantikan Presiden untuk menjalankan tugas-tugas Presiden sampai diadakan pemilihan Presiden yang baru. Pemberhentian Wakil Presiden dalam situasi tersebut akan terjadi secara otomatis jika Wakil Presiden terpilih mengundurkan diri atau terjadi peristiwa hukum lain yang menyebabkan pengunduran diri atau pemberhentian. Kedua, Pemberhentian atas Usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selain itu, Pasal 8 UUD 1945 mengatur bahwa Wakil Presiden dapat diberhentikan atas usul DPR, dengan alasan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, seperti pelanggaran terhadap undang-undang atau perbuatan yang tidak sesuai dengan etika publik yang merusak citra negara terutama sekali yang berkaitan dengan etika (menyalahi etika, tidak beretika atau bertentangan dengan etika yang hidup dimasyarakat) seperti yang dimaksud dalam Pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak dapat melaksanakan tugas dengan baik, misalnya karena terlibat dalam kasus korupsi atau pelanggaran hukum lainnya.
Pemberhentian ini biasanya melalui mekanisme pemilihan dan keputusan di parlemen dengan pertimbangan politik, namun tetap harus mengacu pada peraturan yang berlaku. Ketiga, Melalui Sidang Mahkamah Konstitusi. Selain melalui DPR, jika terdapat dugaan bahwa Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum atau tidak memenuhi syarat dalam menjalankan kewajibannya sebagai pejabat negara, Mahkamah Konstitusi (MK) dapat terlibat. MK dapat diminta untuk memeriksa apakah Wakil Presiden masih memenuhi syarat-syarat untuk menjabat, serta melakukan pengujian terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Wakil Presiden. Ke Empat, Pemberhentian karena Perubahan Politik atau Keputusan Eksekutif. Secara politik, pemberhentian Wakil Presiden juga dapat terjadi atas dasar pergeseran kekuasaan dalam pemerintahan. Misalnya, dalam situasi di mana Wakil Presiden dan Presiden tidak memiliki kesepakatan politik, atau ada perubahan yang memerlukan pengganti yang lebih sejalan dengan kebijakan pemerintah saat itu. Kondisi ini mempertimbangakan kedaruratan kondisi bernegara yang dianggap mengancam keutuhan nasional. Kondisi ini bisa saja dalam bentuk damai atau tidak damai misalnya kudeta atau hal yang senada yang secara politis sangat menentukan.
Pemberhentian Wakil Presiden di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, baik karena alasan kondisi fisik atau mental Presiden, pelanggaran hukum, keputusan politik, atau pelanggaran berat yang merusak negara. Setiap pemberhentian harus melalui prosedur yang sah dan mengikuti prinsip-prinsip hukum yang berlaku di Indonesia, dengan melibatkan lembaga-lembaga negara yang berwenang, seperti DPR dan Mahkamah Konstitusi.

Komentar

Postingan Populer